![]() |
From sekardus ide |
Itu kata-kata yang saya ucapkan ketika melihat laut dari atas bukit sebelum tiba di Pantai Wediombo. Perjalanan sejauh kurang lebih 77km dari Jogja, naik turun bukit, terbayar dengan manis bahkan sebelum tiba di pantai.
Akhir tahun kemarin, ketika libur panjang dimana turis menyerbu
Tak sulit untuk menuju pantai Wediombo ini. Hemm… sulit juga sih jika tak bermodal peta. Karena, jika melalui jalan yang menuju ke pantai Sundak, tidak ada penunjuk jalan ke pantai Wediombo. Termasuk pelosok sih, tapi karena pelosok itulah alasan kita kesana:D. Dianjurkan berangkat menggunakan kendaraan sendiri. Transportasi umum sangat sulit ditemui. Boro-boro di pelosok gunung kidul ini transportasi umum ada, lah di
Setibanya di pantai, kamilah pengunjung pertama di sore akhir tahun itu. Sepanjang pantai itu serasa milik kami. Bebas berlarian, menari, mengoda-goda air laut di bibir pantai atau hanya duduk di atas batu karang yang megah itu. Duduk bersama-sama berdekatan, menghabiskan waktu sore sembari memandang matahari tenggelam di penghujung tahun ini. Indah.
Langit sudah gelap. Kami dipanggil oleh penjaga pantai untuk turun dari atas batu karang. Air laut akan pasang rupanya. Kami yang sedari tadi memutuskan untuk tidak menyewa penginapan, bergegas ke warung. Memesan makan malam serta mencoba bertanya apakah kami boleh bermalam di warung itu. Deretan kursi panjang dan bale-bale sudah kami kuasai. Pemilik warung tidak mempermasalahkan kami untuk bermalam di warungnya. Mengapa tidak membayar penginapan? Bukan apa-apa, kami merasa uang yang kami keluarkan tidak seimbang dengan apa yang didapatkan. Penginapan terbuka menyerupai rumah-rumah panggung. Pernah melihat kandang ayam di peternakan? Nah, 68% mirip seperti itu:D.
Beberapa jam menjelang tengah malam, mulailah beberapa rombongan tiba di pantai. Kami sebagai pengunjung pertama, tersenyum menang karena kami telah mendapatkan tempat yang strategis(dance). Dan kami pun mengisi malam dengan berbincang-bincang akrab, menyeruput teh poci, bermain kartu, tertawa riang yang diiringi debur ombak dan bunyi genset yang sungguh bukanlah suatu harmoni yang bagus.
Subuh pun tiba, saya tidak mendengar suara ayam jantan berkokok. Yang terdengar suara Gun, Anto, Gage dan Choro sedang menghitung-hitung angka. Ya, sejak terkena hukuman gara-gara kalah bermain kartu, saya memutuskan untuk tidur. Bale-bale itu terlalu menggoda untuk dibiarkan saja. Mereka yang tidak tidur semalaman, pun akhirnya berkompromi untuk tidur barang sekejap, sebelum bermain-main di pantai.
Menikmati pagi hari di pantai yang sepi ini, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Air laut yang mulai surut, hawa dingin malam yang masih membekas berbalut cahaya matahari yang baru menampakkan diri. Karena tak ingin melewati momen ini begitu saja. Saya dan Anto menyusuri sebelah barat pantai ini, melihat-lihat dan mengambil foto beberapa nelayan dan pemancing ikan setempat. Menarik, melihat nelayan di pagi hari mendorong perahunya menuju laut lepas. Terkesima memandangi perahu nelayan ketika menerjang ombak. Peristiwa yang tidak saya jumpai setiap hari. Setelah puas mengambil gambar, saya dan anto kembali ke warung tempat kami menginap.
Kegiatan selanjutnya adalah bermain air laut, mumpung matahari belum diatas kepala. Saya tidak ikut nyebur ke laut, saya lebih asyik bermain kamera. Mencoba mempraktekkan hasil pelatihan singkat dari gage, photo session pun lancar. Beberapa fotonya saat ini menjadi kalender CahAndong 2009 yang hanya bisa dinikmati secara terbatas:D.
Semakin siang, semakin bertambah pengunjung yang tiba di pantai dan menggoda air pantai. Dan kami pun harus beranjak dari pantai wediombo ini, karena masih ada satu tujuan pantai lagi, Pantai Siung. Lokasinya tidak jauh dari Wediombo, hanya di balik bukit, begitu kata warga setempat.
Pantai Siung memang cantik, hampir serupa dengan Pantai Baron kalo boleh saya katakan. Sebelah kiri pantai terdapat bukit yang bisa ditanjaki, sebelah kanan pantai terdapat karang-karang terjal yang biasa dijadikan tempat latihan mendaki, apa itu namanya saya lupa. Terdapat juga perahu-perahu nelayan yang setelah kembali dari laut, segera menjual hasil tangkapannya di tempat pelelangan ikan, di pantai itu juga. Sayangnya, pantai ini sudah ramai. Seolah-olah hendak mengusir kami, mata ini dipenuhi kerumunan pengunjung pantai yang rupanya banyak bermalam di bibir pantai. Ya, membuat kami tak betah berlama-lama di pantai ini. Pantai Wediombo masih membius kami, sehingga membuat kami kebal meskipun pantai ini juga cantik.
Tak menyesal khususnya bagi saya, bermalam di Pantai Wediombo. Suasana alaminya masih terasa. Pantai yang gelap diwaktu malam, tak ada lampu penerangan, hanya lampu-lampu dari genset yang berada di warung dan penginapan. Selebih itu, gelap. Fasilitas yang seadanya membuat disatu sisi pantai ini menarik sekaligus menjengkelkan. Tapi, bukankah karena alaminya itu menjadikan pantai ini mutiara di tenggara Jogja?
terkait:
antobilang, tahun baru di wediombo.
choro, yang tahun baru.
ndorokakung, wediombo pecas ndahe.
video dari gage.
foto-foto posterous.
video koleksi pribadi, sore di wediombo dan pagi di wediombo.

Menarik jika ditelaah perkembangan Jogja beberapa puluh tahun ini. Sebagai orang yang sempat belajar di Jogja, saya mengamatinya. Membandingkan dengan cerita dari orangtua ketika dahulu mengenyam pendidikan di Jogja. Juga interaksi sosial yang akhirnya berujung pada kesimpulan Jogja telah berubah.
Kemana arah perubahan tersebut? Entahlah. Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing tentang Jogja dan perubahannya ini. Dan setiap cerita itu, membekas di benak yang suatu saatnya nanti akan kembali bergema cerita-cerita mengenai Jogja di suatu titik waktu.
Uban yang memutih tampak berkilau terbelai cahaya lampu neon. Mengisi piring dengan beberapa ciduk nasi putih yang mengebul hangat, jelas didinginnya malam. Saya pun tak peduli dengan keramaian hidup hari yang telah berlalu, ataupun harus mengantri ditengah malam buta bersama teman-teman CahAndong. Sepiring Gudeg Pawon itu terlalu lezat untuk dipenuhi berbagai keramaian lauk-pauk dunia.
Video ini direkam beberapa saat sebelum berangkat mendistribusikan gerakan 1000 buku ke Dusun Gemer, Lereng Gunung Merapi. Seperti inilah komunitas yang suka jalan-jalan dan makan-makan itu:D